Lebaran di Negeri Tirai Bambu: Cerita Idul Fitri di Tiongkok dari Dua Perspektif

Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (开斋节 kāi zhāi jié) dikenal sebagai momen penting yang dirayakan oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia. Di Tiongkok (中国 Zhōngguó), perayaan ini tetap dilangsungkan meski dalam suasana dan cara yang berbeda, sesuai dengan konteks sosial dan budaya setempat.
Perspektif Pertama: Perayaan Idul Fitri oleh Muslim Tiongkok
Dalam sebuah konten YouTube yang dibuat oleh seorang Muslim Tiongkok (回族 Huízú), ditampilkan suasana khas Lebaran yang diwarnai tradisi lokal. Diri diperkenalkan sebagai bagian dari komunitas Muslim di Tiongkok, dan dijelaskan bahwa nilai-nilai keislaman tetap dijaga dalam lingkungan keluarga yang bersahaja.
Sebelum melaksanakan salat Idul Fitri, dikenakan pakaian baru (新衣服 xīn yīfú) dan digunakan parfum sebagai simbol penyucian diri. Setelah salat, sarapan bersama keluarga dilakukan dengan menyantap makanan favorit dan teh herbal (中草药茶 zhōng cǎoyào chá) yang dianggap menyehatkan.
Makan siang dilangsungkan di rumah kerabat, di mana aneka hidangan khas disajikan, seperti daging kambing (羊肉 yángròu), daging sapi (牛肉 niúròu), nasi ketan manis (糯米饭 nuòmǐ fàn), dan mie spesial (特色面条 tèsè miàntiáo).
Perayaan Idul Fitri disebut sebagai bentuk anugerah dari Allah yang dirayakan bersama saudara seiman (穆斯林兄弟姐妹 mùsīlín xiōngdì jiěmèi), tanpa membedakan latar budaya maupun bahasa.
Perspektif Kedua: Pengalaman Dua Idul Fitri di Wuhan Tahun 2017
Berdasarkan tulisan berikut link pada tahun 2017, suasana Idul Fitri di Wuhan (武汉 Wǔhàn) diwarnai dengan perbedaan penetapan hari raya antara pemerintah Tiongkok dan penganut Arab Saudi. Arab Saudi menetapkan Idul Fitri pada Minggu, 25 Juni, sedangkan Pemerintah Tiongkok menetapkannya pada Senin, 26 Juni.
Kebingungan dirasakan oleh mahasiswa Muslim asing yang berada di Wuhan saat itu, termasuk yang berasal dari Indonesia. Informasi yang tersebar melalui platform seperti WeChat mengindikasikan bahwa sebagian masjid mengadakan salat Idul Fitri pada Minggu, meskipun hanya diperuntukkan bagi warga asing (外国人 wàiguó rén).
Salah satu masjid yang tetap menyelenggarakan salat pada Minggu adalah Masjid Jiang An Hankou (江岸汉口清真寺 Jiāng'àn Hànkǒu Qīngzhēnsì). Salat dilaksanakan dengan diimami oleh warga keturunan Arab. Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab dan Inggris.
Setelah salat dan khutbah yang berlangsung hingga pukul 10 pagi waktu setempat, momen saling bermaafan dan berjabat tangan terjadi di halaman masjid. Makanan ringan khas Tiongkok Muslim dibagikan, seperti sanjiao (三角)—kue segitiga berisi wijen dan gula, roti panggang tianyouxiang (甜油香), buah semangka, serta minuman segar.
Kegiatan pembagian makanan dilakukan oleh pengurus masjid yang merupakan Muslim lokal Tiongkok, dengan bantuan dari jamaah luar negeri. Halaman masjid dipenuhi umat Muslim dari berbagai negara yang merayakan hari kemenangan bersama, tanpa memandang latar belakang budaya, warna kulit, atau asal negara.
Refleksi: Identitas Keislaman dalam Bingkai Budaya Tiongkok
Dari kedua perspektif di atas, dapat dilihat bahwa perayaan Idul Fitri di Tiongkok memiliki keunikan tersendiri. Meskipun dilangsungkan dalam situasi yang berbeda dari negara-negara Muslim mayoritas, semangat Idul Fitri tetap terjaga.
Perbedaan waktu, gaya berpakaian, hingga makanan yang disajikan tidak menjadi penghalang untuk merasakan makna sejati dari Idul Fitri: pengampunan, persaudaraan, dan rasa syukur. Islam ditunjukkan sebagai agama yang dapat hidup berdampingan dengan berbagai budaya, termasuk budaya Tiongkok yang kaya akan tradisi.
Gema takbir mungkin tidak terdengar di jalan-jalan besar seperti di Indonesia, namun gema kebersamaan dan ketulusan tetap terasa dalam hati umat Muslim di setiap sudut negeri.