Enkulturasi dan Akulturasi Budaya Tionghoa Peranakan
![](https://statik.unesa.ac.id/mandarin/thumbnail/1ebf48bc-c59c-49d1-8b25-074b4771f9d4.png)
Deskripsi penjelasan apa itu enkulturasi budaya dan akulturasi budaya adalah sebagai berikut: dengan studi kasus Tionghoa Peranakan.
Sejak abad ke-11, perdagangan maritim antara Tiongkok dan Nusantara sudah terjalin erat. Kapal-kapal besar yang disebut jung (巨舟), berlayar dari pelabuhan-pelabuhan di selatan Tiongkok, seperti Fujian (福建) dan Guangdong (广东), melintasi lautan hingga ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Komoditas yang diperdagangkan pun sangat beragam. Pedagang Tiongkok membawa keramik (陶瓷), porselen (瓷器), dan sutera (丝绸), sementara dari Nusantara mereka membeli rempah-rempah (香料) seperti lada (胡椒), kayu cendana (檀香木), jati (柚木), hingga teripang atau haisom (海参).
Namun, perjalanan lintas samudera ini tidak mudah. Karena harus bergantung pada angin muson untuk kembali, para pedagang kerap tinggal lebih lama di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Mereka singgah di pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa dan Madura, seperti Banten (万丹), Jayakarta (雅加达), Cirebon (芝勒本), hingga Semarang (三宝垄) dan Gresik (葛雷西). Di sinilah benih-benih komunitas Tionghoa Peranakan (土生华人) mulai tumbuh.
Sebagian dari pedagang Tiongkok ini memilih untuk menetap di kota-kota tersebut, terutama karena peraturan saat itu melarang perempuan Tionghoa meninggalkan Tiongkok. Para pedagang akhirnya menikah dengan perempuan lokal. Dari pernikahan lintas etnis inilah, terbentuk komunitas Tionghoa Peranakan yang menggabungkan budaya Tiongkok dan budaya lokal Nusantara.
Proses ini merupakan contoh nyata dari enkulturasi (文化传承) dan akulturasi (文化适应) budaya. Enkulturasi adalah proses di mana individu mempelajari budaya asal mereka melalui keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam kasus ini, budaya Tionghoa diwariskan secara vertikal dari orang tua, secara miring dari orang dewasa lain, dan secara horizontal dari teman sebaya. Sementara itu, akulturasi terjadi ketika budaya Tionghoa bertemu dengan budaya mayoritas Nusantara. Ini menyebabkan munculnya perpaduan budaya melalui pernikahan, pola hidup, hingga ke bahasa dan tradisi.
Ketika individu atau komunitas menghadapi budaya yang berbeda, mereka akan memilih strategi akulturasi yang tepat. Menurut Berry, dkk (1989), ada empat strategi yang bisa diambil: asimilasi (同化), separasi (分离), integrasi (融合), dan marjinalisasi (边缘化). Strategi asimilasi terjadi ketika seseorang lebih memilih untuk berinteraksi dengan budaya mayoritas dan meninggalkan budaya asalnya. Di sisi lain, strategi separasi terjadi ketika seseorang mempertahankan budaya asal dan menghindari kontak dengan budaya mayoritas.
Komunitas Tionghoa Peranakan di Indonesia sebagian besar memilih strategi integrasi, di mana mereka mempertahankan identitas budaya Tionghoa sambil tetap berinteraksi dengan budaya Nusantara. Mereka berhasil memadukan tradisi Tionghoa dengan budaya lokal, menciptakan perpaduan yang harmonis antara dua dunia yang berbeda. Namun, beberapa dari mereka juga memilih strategi asimilasi, dengan sepenuhnya mengadopsi budaya lokal Indonesia.
Pada pertengahan abad ke-19, komunitas Tionghoa Peranakan sudah berkembang pesat di Hindia Belanda. Mereka merupakan keturunan dari pernikahan antara pria Tionghoa dan perempuan lokal Indonesia, dan menjadi cerminan dari proses integrasi yang sukses antara dua budaya besar. Hingga saat ini, warisan budaya Tionghoa Peranakan masih dapat dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia, dari kuliner, arsitektur, hingga tradisi dan adat istiadat.